Pencapaian kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai
pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata,
ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini,
di capai melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah; yakni sembah
raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih
rahsa sejati (lihat thread; Serat Wedhatama). Wedha adalah petunjuk
atau laku/langkah, Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu
tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (solah
tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi
jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya
ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga
secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir
dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang
harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan
batin atau bawa. Wujud solah akan merefleksikan keadaan bawa dalam
batin, namun kesadaran bawa juga termanifestasikan ke dalam wujud solah.
Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan bawa, yang terjadi
adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau plin-plan.
Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator
manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual) dalam
lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang
termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;
1. Madu Basa
Meliputi adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata
dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif
seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang
yang mampu membawa diri, mawas diri atau mulat sarira. Kata-kata yang
tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan
fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu
menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan ajining diri
kerana lathi. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa
yang ada dalam ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil
berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu
Basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam
menyampaikan kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan
bahasa yang simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang
lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju. Itulah bahasa akan
menjadi “madu” tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya
ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.
2. Madu Rasa
Meliputi empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju
panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga. Madu rasa adalah bentuk
kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa
kasih sayang yang tulus kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama,
warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat. Sebuah
kesadaran batin yang mampu memahami bahwa derajat manusia adalah sama
di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan hidup seseorang ditentukan
tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan oleh
perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama.
Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu ngemong (mengendalikan)
gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain.
Keadaan mental seseorang madu rasa, memiliki kematangan, tangguh, ulet
dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala
sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat,
cakap, tanggap, empatik dan peduli lingkungan.
3. Madu Brata
Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha, eling terhadap sangkan
paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang menjadi
penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan. Kedua, madu brata
diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk
menyebut seseorang yang dapat menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh
kemuliaan hidupnya diperlukan kesadaran lalu memahami akan karakter,
sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha
Mulya yang sangat beragam. Madu brata, “madu”nya perilaku dalam
menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai
jagad kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar memiliki hubungan yang
harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai
beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala alam. Madu brata sepadan
dengan sikap hamemayu hayuning bawana. Ketiga, pangastuti dan rasa
sejati yang dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi
alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak
yang mampu meredam watak sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti.
Seseorang memiliki daya batin yang jinurung ing gaib, yakni sejalan
dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam, atau kodrat alam
lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka Idune
idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan,
sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).
Budaya kejawen kita ternyata sudah mengajarkan tentang budi pekerti yang baik. Dari artikel ini semoga kita bisa kembali ingat dan mengamalkan ajaran budi perkerti yang baik.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar Anda,
Berkomentarlah yang bijak sesuai artikel dan jangan menyertakan link dalam komentar, saya akan membalas komentar di blog kawan..
Terimakasih..